Definisi Tabarruk: Dari
sisi bahasa, kata ‘tabarruk’ berarti “mencari berkah” (lihat: kitab
Lisan al-Arab jilid 10 halaman 390, kitab Shihah al-Lughah jilid 4
halaman 1075 dan kitab an-Nihayah jilid 1 halaman 120). Dengan begitu,
sewaktu dikatakan bahwa “mencari berkah terhadap sesuatu” berarti
“keinginan mengambil berkah dari sesuatu tadi”. Atas dasar itulah maka
definisi tabarruk dari sisi istilah adalah; “Mengharap berkah dari
sesuatu ataupun hal-hal lain yang Allah swt telah memberikan
keistimewaan dan kedudukan khusus kepadanya”.
Salah
satu dari kejelasan ajaran agama (Dharuriyaat ad-Diin) yang menjadi
kesepakatan segenap kelompok muslim adalah berkaitan dengan pengkhususan
peribadatan kepada Allah swt. Hal ini termasuk dari asas-asas dasar
agama. Islam tidak memperkenankan pengikutnya untuk menyembah selain
Allah swt. Ini adalah esensi dasar (ushuluddin) ajaran agama para nabi
dan rasul terdahulu, terkhusus agama Muhammad saw yang bernama Islam.
Islam tidak mengizinkan penyembahan terhadap Malaikat, nabi ataupun
rasul, apalagi berhala. Islam akan menghukumi pelaku peribadatan selain
Allah swt tersebut sebagai kafir yang musyrik. Ini tiada seorangpun dari
kaum muslimin yang memahami Islam yang meragukannya. Bagaimana tidak,
sedang ia setiap sehari mengulang-ngulang kata: “Hanya kepada-Mu kami
menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan” (Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in).
Salah
satu hal yang dinyatakan syirik oleh kelompok dan aliran Wahaby
(salafy) adalah pengambilan berkah (tabarruk) dari sesuatu yang dianggap
sakral. Dengan tuduhan itu mereka dengan seenaknya lantas menyerang
kaum muslim sebagai pelaku bid’ah ataupun syirik. Dalam berbagai
kesempatan ulama mereka mengeluarkan fatwa-fatwa yang menyebutkan
seperti apa yang telah disebutkan tadi, vonis ahli bid’ah dan syirik.
Pada kesempatan ini, kita akan lihat beberapa contoh fatwa mereka:
1-
Bin Baz (Abdul Aziz) dalam kitab “al-Fatawa al-Islamiyah” jilid 4
halaman 29 menatakan: “Meletakkan al-Quran dalam kendaraan (mobil) untuk
mencari berkah (tabarruk) merupakan sesuatu yang tidak berasas (tidak
ada asalnya) dalam syariat Islam”.
Dengan kata lain, Abdul Aziz bin Baz menyatakan bahwa perbatan semacam itu (mencari berkah) merupakan perbuatan bid’ah.
2-
Ibn Utsaimin dalam kitab “Majmu’at al-Fatawa li Ibni Utsaimin” fatwa
nomer 366 menyatakan: “Mengambil berkah dari kisa’ (kain yang melingkari
.red) Ka’bah dan mengusap-usapnya merupakan perbuatan bid’ah, karena
Nabi tidak pernah mengajarkannya”. Dalam kasus yang sama (tabarruk) juga
ia sebutkan dalam kitab “Dalil al-Akhtha’” halaman 107 disebutkan:
“Sebagian penziarah mengusapkan tangannya ke mihrab, mimbar dan
tembok-tembok masjid. Semua prilaku itu masuk kategori bid’ah”.
Inilah fatwa syeikh (Utsaimin) yang namanya selalu dicantumkan dalam situs dan blog-blog kaum Wahaby, selain Bin Baz di atas tadi.
Faham Wahaby atau yang menjelma sekarang ini dengan nama Salafi atau
Salafy, oleh sebagian ulama Islam dibahasakan dengan nama Salafi Palsu
atau Salafi Gadungan.
3-
Ibn Fauzan dalam kitab “al-Bid’ah” halaman 28-29 menyatakan: “Tabarruk
mempunyai arti mencari berkah, penetapan kebaikan, meminta kebaikan dan
meminta tambahan dari hal-hal tadi. Permintaan ini harus diminta dari
sesuatu yang pemiliknya adalah yang memiliki kemampuan. Ini tidak lain
hanyalah Allah semata. Hanya Ia Yang mempu menurunkan dan menetapkannya.
Tiada satu makhlukpun yang mampu memberi ampunan, memberi berkah
ataupun mengadakan dan menetapkan hal-hal tadi. Atas dasar itu, tidak
diperbolehkan mengambil berkah dari tempat-tempat,
peninggalan-peninggalan ataupun seseorang, baik yang masih hidup maupun
yang telah mati. Karena hal itu bisa masuk kategori syirik”.
Jika
tadi Bin Baz dan Bin Utsaimin menyebutnya sebagai perbuatan bid’ah maka
sekarang Bin Fauzan lebih berani dari kedua orang ulama Wahaby
sebelumnya tadi. Ia telah berani menyatakan bahwa “Pencari Berkah
Tergolong Musyrik”. Mari kita lanjutkan penelitian dari kajian kita ke
contoh terakhir dari fatwa mereka (kaum Wahabi yang berkedok Salafi).
4-
Gerombolan ulama Wahhaby yang terhimpun dalam “al-Lajnah ad-Da’imah li
al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’” (Tim Tetap Pengkaji dan Pemberi Fatwa)
dalam fatwanya nomer 3019 menyatakan: “…perhatian masyarakat terhadap
masjid ini dengan mengusap-usap tembok dan mihrab untuk mencari berkah
merupakan pekerjaan bid’ah dan juga masuk dari salah satu jenis syirik.
Perbuatan ini sama dengan perbuatan kaum kafir pada zaman jahiliyah”.
Ternyata
kumpulan ulama Wahhabi itu ingin menyatukan antara fatwa tokoh-tokoh
ulama mereka yang sebagian menyatakan bahwa ‘tabarruk’ merupakan
perbuatan bid’ah sedang yang lain menyatakan itu merupakan perbuatan
syirik, dengan menfatwakan bahwa “Pencarian berkah (tabarruk) masuk
kategori bid’ah dan bagian dari bentuk syirik”. Poin inilah yang harus
kita garis bawahi dan kita ingat-ingat untuk bekal pembahasan kita
nantinya.
Tentu
sangat mudah bagi Allah untuk mengembalikan penglihatan Nabi Yakqub
tanpa melalui proses pengambilan berkah semacam itu. Namun harus kita
ketahui hikmah di balik itu. Terkadang Allah swt menjadikan beberapa
benda menjadi ‘sumber berkah’ agar menjadi ‘sebab’ untuk mencapai tujuan
yang dikehendaki-Nya. Selain karena Allah swt juga menginginkan agar
manusia mengetahui bahwa terdapat benda-benda, tempat-tempat,
waktu-waktu dan pribadi-pribadi yang memiliki kesakralan karena
mempunyai kedudukan khusus di mata Allah swt. Sehingga semua itu dapat
menjadi sarana Allah swt memberkati orang untuk mencapai kesembuhan dari
penyakit, pengkabulan doa, pensyafaatan dalam pengampunan dosa dan lain
sebagainya.
Setelah
kita mengetahui fatwa-fatwa ‘pengkafiran’ ulama Wahaby (tuduhan bid’ah
dan syirik) berkaitan dengan kaum muslimin yang melaksanakan pencarian
berkah (tabarruk) pada seseorang, tempat, waktu dan sesuatu yang diangap
sacral, maka sekarang kita akan melihat terminology tabarruk dalam
al-Quran, sebelum kita jauh melangkah ke depan.
Berkah dan Tabarruk dalam al-Quran
Kita
sebagai seorang muslim yang meyakini akidah Tauhid pasti meyakini bahwa
Allah swt adalah Pencipta (Khaliq) dan Pengatur (Rab) alam semesta.
Dengan kesempurnaan absolut (mutlak) yang Dia miliki, Ia menciptakan dan
mengatur alam semesta. Segala yang ada di alam semesta ini tiada yang
tidak tercipta dari-Nya. Oleh karenanya, tidak satupun yang berada di
alam ini pun tidak tergantung keada-Nya, termasuk dalam kelangsungan
eksistensi dan hidupnya. Allah swt Pemilik segala otoritas kesempurnaan.
Dalam
al-Quran, penggunaan kata ‘berkah’ sering akan kita jumpai. Sebagaimana
dalam pembahasan syafa’at, ilmu ghaib dan sebagainya (yang pada
kesempatan lain insya-Allah akan kita bahas nantinya), secara mendasar
dan murni (esensial) “berkah” dan “pemberian berkah” hanya berasal,
milik dan hak priogresif Allah swt semata. Oleh karenanya, kita jumpai
ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah swt memberikan berkah kepada
makhluk-makhluk-Nya. Contoh ayat-ayat yang Allah swt telah memberkati
seseorang sehingga berkah itu terdapat pada diri pribadi-pribadi yang
diberkati tersebut:
1-
Berkaitan dengan Nabi Nuh as beserta pengikutnya, Allah swt berfirman:
“Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari
Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mukmin) dari orang-orang yang
bersamamu…” (QS Hud: 48).
2-
Berkaitan dengan Nabi Ibrahim as Allah swt berfirman: “Maka tatkala dia
tiba di (tempat) api itu, diserulah dia: “Bahwa Telah diberkati
orang-orang yang berada di api itu, dan orang-orang yang berada di
sekitarnya…” (QS an-Naml: 8).
3- Berkenaan dengan Nabi Ishak as Allah swt berfirman: “Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq…” (QS as-Shaafat: 113).
4-
Berkenaan dengan Nabi Isa as Allah swt berfirman: “Dan dia menjadikan
Aku seorang yang diberkati di mana saja Aku berada…” (QS Maryam: 31).
Sedang
ayat-ayat yang menyatakan bahwa ada beberapa tempat yang telah
diberikan berkah oleh Allah swt sehingga tempat itu menjadi tempat yang
sakral, seperti:
5-
Allah swt telah memberi berkah kepada Masjidil Haram di Makkah:
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat)
manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan
menjadi petunjuk bagi semua manusia” (QS Aali Imran: 98).
6-
Allah swt telah memberi berkah kepada Masjidil Aqsha di Palestina:
“Maha Suci Allah, yang Telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam
dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang Telah kami berkahi
sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) kami…” (QS al-Isra’: 1).
7-
Allah swt telah memberi berkah kepada lembah Aiman: “Maka tatkala Musa
sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah
Aiman pada tempat yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu…” (QS
al-Qoshosh: 30).
Dan terkadang yang menjadi obyek berkah Ilahi adalah sesuatu (benda) sampai pada pohon dan waktu. Sebagai contoh:
8-
Allah swt telah memberikan berkah kepada al-Quran: “Dan Al-Quran itu
adalah Kitab yang Kami turunkan yang diberkati, Maka ikutilah dia dan
bertakwalah agar kamu diberi rahmat” (QS al-An’am: 155).
9-
Allah swt telah memberikan berkah kepada pohon zaitun: “Pelita itu di
dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti
mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya,
(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan
tidak pula di sebelah barat(nya)…” (QS an-Nur: 35).
10-
Allah swt telah memberkahi air hujan: “Dan Kami turunkan dari langit
air yang diberkati lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan
biji-biji tanaman yang diketam” (QS Qof: 9).
11-
Allah swt telah memberkati malam dimana al-Quran turun (lailatul
Qadar): “ Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang
diberkahi..” (QS ad-Dukhon: 3).
Setelah
mengetahui obyek-obyek berkah Ilahi maka mungkin saja timbul
pertanyaan; bagaimana para umat terdahulu, apakah mereka juga mengambil
berkah? Allah swt dalam al-Quran menjelaskan hal tersebut seperti yang
dicantumkan dalam ayat-ayat berikut:
12-
Dalam surat al-Baqarah ayat 248 Allah swt telah mengisakan tentang
pengambilan berkah Bani Israil terhadap tabut (peti .red) yang
didalamnya tersimpan barang-barang sakral milik kekasih Allah, Nabi Musa
as. Allah swt berfirman: “Dan nabi mereka mengatakan kepada mereka:
“Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut
kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari
peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu
orang yang beriman”.
‘Peti’
itu adalah peti dimana Musa kecil telah diletakkan oleh ibunya ke
sungai Nil dan mengikuti aliran sungai sehingga ditemukan oleh istri
Firaun, untuk diasuh. Para Bani Israil mengambil peti itu sebagai obyek
untuk mencari berkah (tabarruk). Setelah Nabi Musa as meninggal dunia,
peti itu disimpan oleh washi (patner) beliau yang bernama Yusya’, dan di
dalamnya disimpan beberapa peninggalan Nabi Musa yang masih berkaitan
dengan tanda-tanda kenabian Musa. Setelah sekian lama, Bani Israil tidak
lagi mengindahkan peti tersebut, hingga menjadi bahan mainan anak-anak
di jalan-jalan. Sewaktu peti itu masih berada di tengah-tengah mereka,
Bani Israil masih terus dalam kemuliaan. Namun setelah mereka mulai
melakukan banyak maksiat dan tidak lagi mengindahkan peti itu, maka
Allah swt menyembunyikan peti tersebut dengan mengangkatnya ke langit.
Sewaktu mereka diuji dengan kemunculan Jalut mereka mulai merasa gunda.
Kemudian mereka mulai meminta seorang Nabi yang diutus oleh Allah swt ke
tengah-tengah mereka. Lantas Allah swt mengutus Tholut. Melalui dialah
para malaikat pesuruh Allah mengembalikan peti yang selama ini mereka
remehkan.
Az-Zamakhsari
dalam menjelaskan apa saja barang-barang yang berada di dalam peti itu
menyatakan: “Peti itu adalah peti Taurat. Dahulu, sewaktu Musa berperang
(melawan musuh-musuh Allah) peti itu diletakkan di barisan paling depan
sehingga perasaan kaum Bani Israil merasa tenang dan tidak merasa
gunda…adapun firman Allah yang berbunyi “dari peninggalan keluarga Musa
dan keluarga Harun” berupa sebuah papan bertulis, tongkat beserta baju
Nabi Musa (as) dan sedikit bagian dari kitab Taurat” (Lihat Tafsir
al-Kasyaf jilid 1 halaman 293).
Lihatlah,
betapa Nabi yang diutus oleh Allah swt kepada Bani Israil itu telah
memerintahkan kepada Bani Israil untuk tetap menjaga peninggalan Nabi
Musa dan Nabi Harun berupa peti dengan segala isinya yang mampu
memberikan ketenangan pada jiwa-jiwa mereka. Pemberian ketenangan
melalui peti itu tidak lain karena Allah swt telah memberikan berkah
khusus kepada peninggalan kedua Nabi mulia tersebut. Sehingga sewaktu
Bani Israil tidak lagi mengindahkan peninggalan yang penuh barakah itu
maka Allah swt mengujimereka dan tidak lagi memberkahi mereka. Ini
sebagai bukti betapa sakral dan berkahnya peninggalan itu, dengan izin
Allah swt.
Dalam
ayat lain Allah menjelaskan tentang pengambilan berkah seorang pribadi
mulia seperti Nabi Yakqub as terhadap baju putranya, Nabi Yusuf as.
Allah swt berfirman: “Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini,
lalu letakkanlah dia kewajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali; dan
bawalah keluargamu semuanya kepadaku” (QS Yusuf: 93). Dalam kisah itu,
saudara-saudara Nabi Yusuf telah melaksanakan perintah saudaranya itu.
Ayah Nabi Yusuf (Nabi Yakqub) yang buta akibat selalu menangisi
kepergian Yusuf, pun akhirnya pulih penglihatanya karena diusap oleh
baju Yusuf. Itu semua berkat ‘barakah’ yang dicurahkan oleh Allah swt
kepada baju Yusuf. Az-Zamakhsyari kembali dalam kitab tafsirnya
menjelaskan tentang hakekat baju Yusuf dengan mengatakan: “Dikatakan:
itu adalah baju warisan yang dihasilkan oleh Yusuf dari permohonan
(doa). Baju itu datang dari Sorga. Malaikat Jibril telah diperintahkan
untuk membawanya kepada Yusuf. Di baju itu tersimpan aroma sorgawi yang
tidak ditaruh ke orang yang sedang mengidap penyakit kecuali akan
disembuhkan” (Lihat Tafsir al-Kasyaf jilid 2 halaman 503).
Tentu
sangat mudah bagi Allah untuk mengembalikan penglihatan Nabi Yakqub
tanpa melalui proses pengambilan berkah semacam itu. Namun harus kita
ketahui hikmah di balik itu. Terkadang Allah swt menjadikan beberapa
benda menjadi ‘sumber berkah’ agar menjadi ‘sebab’ untuk mencapai tujuan
yang dikehendaki-Nya. Selain karena Allah swt juga menginginkan agar
manusia mengetahui bahwa terdapat benda-benda, tempat-tempat,
waktu-waktu dan pribadi-pribadi yang memiliki kesakralan karena
mempunyai kedudukan khusus di mata Allah swt. Sehingga semua itu dapat
menjadi ‘sarana’ Allah swt memberkati orang untuk mencapai kesembuhan
dari penyakit, pengkabulan doa, pensyafaatan dalam pengampunan dosa, dan
lain sebagainya.
Jika
para nabi biasa memiliki kemuliaan semacam itu, lantas bagaimana dengan
benda (spt: mihrab dan mimbar), tempat (spt: rumah, masjid dan makam),
waktu (spt: peringatan hari kelahiran/maulud, perkawinan, hijrah,
Isra’-Mi’raj dan wafat) dan mengenang keutamaan (melalui bacaan Maulid
Diba’ atau Barzanji) yang berkaitan langsung dengan pribadi agung
seperti Rasulullah saw, penghulu para nabi dan rasul, makhluk Allah yang
paling sempurna sebagaimana yang telah dicantumkan dalam berbagai
ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis shohih?
Para
sahabat mulia nabi yang tergolong Salaf Saleh mereka telah mengambil
berkah dari Nabi dengan menyentuh tubuh (jasad) Rasul, mencium tangan
beliau, meminum sisa minuman beliau, mengambil sisa air wudhu, memunguti
rambut beliau, meminta berkah dari Rasul untuk bayi-bayi mereka dan
lain sebagainya. Imam al-Muslim dalam kitab Shohih al-Muslim jilid 1
halaman 164, bab Hukmu Bauli at-Thifl ar-Rodhi’ atau pada jilid 6
halaman 176, bab Istihbab Tahnik al-Maulud menjelaskan secara gamblang
tentang prilaku para Salaf Saleh dalam mengambil berkah Rasul untuk
anak-anak mereka. Apakah sampai sini kaum Salafy masih tetap memaksakan
diri untuk mengatakan bahwa bertabaruk kepada pribadi mulia dan pemilik
keutamaan sedang ia masih hidup adalah sesuatu yang masuk kategori
Syirik atau Bid’ah? Mungkinkah para Salaf Saleh (sahabat Rasul) semua
tadi adalah pelaku syirik dan bid’ah? Mungkinkah Rasul membiarkan bahkan
meridhoi para sahabatnya melakukan syirik dan bid’ah?
Setelah kita mengenal konsep ‘Tabarruk’ versi al-Quran yang menyatakan bahwa sebagian nabi mengizinkan atau bahkan melakukan “pengambilan berkah” (tabarruk) dari ‘sesuatu’ selain Allah swt dan tergolong hasil ciptaan Allah, dimana tentu kaum Wahaby tidak akan pernah berani menvonis orang mulia seperti Nabi Yakqub sebagai pelaku syirik karena telah melakukan pencarian berkah dari baju Nabi Yusuf. Sekarang, giliran kita akan melanjutkan kajian kita kepada masalah; “Tabarruk dari tinjauan hadis”. Dalam penjelasan edisi ini, kita akan buktikan bawa ternyata para Salaf Saleh (Sahabat Nabi) telah melakukan perbuatan yang versi Wahaby tergolong perbuatan Syirik atau Bid’ah, mencari berkah.
Setelah kita mengenal konsep ‘Tabarruk’ versi al-Quran yang menyatakan bahwa sebagian nabi mengizinkan atau bahkan melakukan “pengambilan berkah” (tabarruk) dari ‘sesuatu’ selain Allah swt dan tergolong hasil ciptaan Allah, dimana tentu kaum Wahaby tidak akan pernah berani menvonis orang mulia seperti Nabi Yakqub sebagai pelaku syirik karena telah melakukan pencarian berkah dari baju Nabi Yusuf. Sekarang, giliran kita akan melanjutkan kajian kita kepada masalah; “Tabarruk dari tinjauan hadis”. Dalam penjelasan edisi ini, kita akan buktikan bawa ternyata para Salaf Saleh (Sahabat Nabi) telah melakukan perbuatan yang versi Wahaby tergolong perbuatan Syirik atau Bid’ah, mencari berkah.
Berkah dan Tabarruk dalam as-Sunnah
Penyebab
kelompok Salafy mengatasnamakan dirinya sebagai Salafy adalah karena
‘konon’ mereka ingin menegakkan ajaran Salaf Saleh yang selama ini tidak
diindahkan lagi oleh umat Muhammad, padahal ajaran Salaf Saleh pasti
benar dan harus selalu ditegakkan. Di sini, kita akan sebutkan
bukti-bukti bahwa para Salaf Saleh telah melakukan ‘tabarruk’ (pencarian
berkah) yang dikategorikan perbuatan syirik dan bidah oleh kelompok
Salafy, yang pada hakekatnya Wahaby itu.
Agar kajian kita lebih terfokus maka kita bagi kajian hadis kita kali ini pada beberapa pembagian berikut:
- Pertama: Tabarruk para Sahabat (Salaf Saleh) terhadap Rasulullah saw, sewaktu masa hayat beliau.
- Kedua: Tabarruk para Sahabat dan para Tabi’in (Salaf Saleh) terhadap peninggalan Rasul, pasca wafat beliau.
- Ketiga:
Tabarruk kaum muslimin terhadap peninggalan para pendahulu dari para
nabi, sahabat Nabi, tabi’in dan para kekasih Ilahi (Waliyullah).
Untuk itu, marilah kita perhatikan hadis-hadis yang menjadi argumen kita serta mengadakan sedikit analisa dari beberapa sisinya:
I- Tabarruk para Sahabat (Salaf Saleh) terhadap Rasulullah saw, sewaktu masa hayat beliau.
Di
sini kita akan menyebutkan beberapa riwayat sebagai bukti bahwa para
sahabat mulia Nabi yang tergolong Salaf Saleh mereka telah mengambil
berkah dari Nabi dengan menyentuh tubuh (jasad) Rasul, mencium tangan
beliau, meminum sisa minuman beliau, mengambil sisa air wudhu, memunguti
rambut beliau, meminta berkah dari Rasul untuk bayi-bayi mereka dan
lain sebagainya.
Imam
al-Muslim dalam kitab Shohih al-Muslim jilid 1 halaman 164, bab Hukmu
Bauli at-Thifl ar-Rodhi’ atau pada jilid 6 halaman 176, bab Istihbab
Tahnik al-Maulud menjelaskan secara gamblang tentang prilaku para Salaf
Saleh dalam mengambil berkah Rasul untuk anak-anak mereka. Atas dasar
itu, Ibnu Hajar dalam kitab al-Ishobah jilid 3 halaman 638 (detailnya
pada: Huruf waw, bagian pertama, bab waw kaf, tarjamah Walid bin Uqbah,
nomer 9147) menjelaskan: “Setiap bayi pada masa hidup Rasulullah
dihukumi sebagai pribadi yang telah melihat Rasul. Hal itu karena
syarat-syarat terlaksananya kaum Anshar dalam mendatangkan anak-anak
mereka kepada Rasul agar dipeluk dan diberi berkah (tabarruk) telah
terpenuhi”. Hingga dikatakan: “Sewaktu Makkah ditaklukkan (fath), para
penghuni Makkah pun berdatangan kepada Nabi dengan membawa anak-anak
mereka supaya dapat dibelai (diusap) kepalanya oleh beliau yang lantas
beliau doakan”.
a- Tabarruk para sahabat untuk para bayi mereka:
1-
Dari ummu Qais: “Suatu saat beliau mendatangi Rasululah dengan membawa
serta anaknya yang masih kecil, yang masih belum memakan makanan. Lantas
Rasulullah meletakkanya di pangkuannya. Tiba-tiba anak itu kencing di
pakaian beliau. Kemudian beliau meminta air dan menyiramkannya (pada
pakaian) dan tidak mencucinya”. (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1
halaman 62 kitab al-Ghasl, Kitab Sunan an-Nasa’i jilid 1 halaman 93 bab
Baul as-Shobi al-Ladhi lam Ya’kul at-Tho’am, Kitab as-Sunan at-Turmudzi
jilid 1 halaman 104, Kitab as-Sunan Abu Dawud jilid 1 halaman 93 bab
Baul as-Shobi Yushibus Tsaub dan Kitab as-Sunan Ibnu Majah jilid 1
halaman 174).
Ibnu
Hajar berkata: “Dari hadis ini memberikan beberapa pengertian;
Penekanan akan pergaulan secara baik, rendah diri (Tawadhu’), memeluk
anak bayi dan pemberian berkah dari pribadi yang memiliki kemuliaan, dan
membawa anak kecil pra dan pasca kelahiran” (Lihat Kitab Fathul-Bari
jilid 1 halaman 326 kitab al-Wudhu’ bab Baul as-Shobi hadis ke-223).
2-
Dari Ummul Mukminin Aisyah: “Dulu, Rasulullah selalu didatangkan bayi
(kepadanya) yang kemudian beliau peluk mereka untuk diberi berkah“
(Lihat: Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 7 halaman 303 kitab
al-Wudhu bab 59 bab Baul as-Shibyan hadis ke-223).
3-
Dari Abdurrahman bin ‘Auf, beliau berkata: “Tiada seorang yang baru
melahirkan kecuali bayi itu didatangkan kepada Rasul untuk didoakan”
(Lihat: Kitab al-Mustadrak as-Shohihain karya al-Hafidz al-Hakim
an-Naisaburi jilid 4 halaman 479 dan Kitab al-Ishobah karya Ibnu Hajar
jilid 1 halaman 5 dalam Khutbah kitab, bagian kedua).
4-
Dari Muhammad bin Abdurrahman pembantu (maula) Abi Thalhah yang
berbicara tentang Muhammad bin Thalhah, beliau berkata: “Sewaktu
Muhammad bin Thalhah lahir, aku membawanya kepada Rasulullah untuk
dipeluk dan didoakannya. Hal itulah yang dilakukan Rasul kepada para
bayi yang ada” (Lihat: Kitab al-Ishobah karya Ibnu Hajar jilid 5 halaman
5 pada Khutbah Kitab, bagian kedua).
b- Tabarruk sahabat dari tubuh Rasulullah saw:
“Sewaktu
Rasulullah datang ke pasar, beliau melihat Zuhair berdiri untuk menjual
barang. Tiba-tiba beliau datang dari arah punggungnya lantas memeluknya
dari belakang hingga tangan beliau menyentuk dadanya. Kemudian Zuhair
marasakan bahwa orang itu adalah Rasulullah. Lantas ia berkata: Aku
lantas mengusapkan pungungku pada dadanya untuk mendapatkan berkah dari
beliau” (Lihat: Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 3 halaman 938
hadis ke-12237, Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah jilid 6 halaman 47 yang
telah dinyatakan keshohihannya dengan menyatakan bahwa perawinya
semuanya dapat dipercaya (tsiqoh) dan Kitab Sirah Dahlan jilid 2
halaman: 267).
c- Tabarruk sahabat dari rambut Rasulullah saw:
1-
Dari Anas, beliau berkata: “Aku melihat Rasulullah sedang dipangkas
rambutnya oleh tukang potong, sedang para sahabat mengerumuninya dan
mereka tidak membiarkan sehelaipun rambut beliau jatuh melainkan di
salah satu tangan mereka” (Lihat: Kitab Shahih Muslim dengan syarah Imam
Nawawi jilid 15 halaman 83, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 3
halaman 591, Kitab as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 7 halaman
68, Kitab as-Sirah al-Halabiyah jilid 3 halaman 303, Kitab al-Bidayah wa
an-Nihayah jilid 5 halaman 189 dan Kitab Musnadaat ibn Malik hadis
ke-11955).
2-
Dari Abdullah bin Zaid, beliau berkata: “…maka Rasulullah dipangkas
rambutnya dengan mengenakan baju, lantas beliau memberikannya (rambut)
kepada orang-orang (sahabat) untuk dibagi. Kemudian beliau memotong kuku
yang kemudian diberikan kepada sahabatnya. Lantas ia (Abdulah bin Zaid)
berkata: Kudapati hal itu diwarnai dengan pacar, yaitu; rambut beliau.”
(Lihat: Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 4 halaman 630 hadis
ke-16039, Kitab as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 1 halaman 68
dan Kitab Majma’ az-Zawa’id jilid 4 halaman 19).
3-
Dari Abu Bakar, beliau berkata: “Tiada Fath (penaklukan tanpa
peperangan .red) terbesar yang dilakukan Islam melainkan Fath
Hudaibiyah. Akan tetapi kala itu, orang-orang banyak yang kurang
memahami hubungan antara Muhammad dengan Tuhannya…Suatu hari, ketika
haji wada’, aku melihat Suhail bin Amr berdiri di tempat penyembelihan
(binatang kurban) dekat dengan Rasulullah bersama ontanya yang saat itu
beliau menyembelih onta dengan tangannya sendiri. Kemudian beliau
memanggil tukang cukur untuk mencukur rambut kepalanya. Aku melihat
Suhail memunguti rambut beliau yang berjatuhan. Aku melihatnya
meletakkan (rambut tadi) di kelopak matanya. Aku mengingat keengganan
beliau (untuk menghapus), sehingga beliau menetapkan pada hari
Hudaibiyah untuk menulis kata Bismillahirrahmanirrahim” (Lihat: Kitab
Kanzul Ummal karya Muttaqi al-Hindi al-Hanafi jilid 10 halaman 472
hadis-30136).
d- Tabarruk sahabat dari keringat Rasulullah saw:
1-
Dari Anas bin Malik, beliau berkata: “Ummu Salamah selalu menghamparkan
tikar kulit untuk Nabi, lantas beliau tidur di atas hamparan tersebut.
Sewaktu beliau tertidur, lantas ia (Ummu Salamah .red) mengambil
keringat dan rambut Nabi dan diletakkan ke dalam botol dan dikumpulkan
dalam tempat minyak wangi” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 7
halaman 14 kitab al-Isti’dzan).
Ibnu
Hajar dalam mensyarahi riwayat ini mengatakan: “Dengan menyebutkan
rambut dalam kisah ini sangatlah mengherankan sekali. Sebagian orang
menyatakan bahwa rambut beliau tersebar (terurai) ketika berjalan.
Kemudian ketika aku melihat riwayat Muhammad bin Sa’ad yang masih samar.
Riwayat itu memiliki sanad (jalur) yang sahih dari Tsabit bin Anas,
bahwa sewaktu Nabi saw mencukur rambutnya di Mina Abu Thalhah mengambil
rambut beliau dan menyerahkannya kepada Ummu Salamah. Lantas ia
meletakkannya ke dalam tempat minyak wangi. Ummu Salamah berkata: Beliau
datang ke (rumah)-ku dan tidur di atas hamparan milikku sehingga
keringat beliau mengalir (terkumpul)” (Lihat: Kitab Fathul Bari jilid 11
halaman 59 atau Kitab Thabaqot al-Kubra jilid 8 halaman 313).
e- Tabarruk sahabat dari air wudhu Rasulullah saw:
1-
Dari Abu Juhfah, beliau berkata: “Aku mendatangi Nabi sewaktu beliau
berada di Qubbah Hamra’ dari Adam. Kulihat Bilal (al-Habasyi) mengambil
air wudhu Nabi. Lantas orang-orang bergegas untuk berwudhu juga.
Barangsiapa yang mendapatkan sesuatu dari air wudhu tadi maka akan
menggunakannya sebagai air basuhan. Namun bagi siapa yang tidak
mendapatkannya maka ia akan mengambil dari basahan (sisa wudhu) yang
berada di tangan temannya”.
Dalam
lafad itu dikatakan: “Rasul pergi menuju Hajirah bersama kami, lantas
beliau mengambil air wudhu. Kemudian orang-orang mengambili air bekas
wudhu beliau untuk dijadikan bahan basuhan (dalam berwudhu)” (Lihat:
Kitab Shahih al-Bukhari jilid 1 halaman 55 dalam kitab wudhu bab
Isti’malu Fadhli Wudhu’in Nas, Kitab shohih al-Muslim jilid 1 halaman
360, Kitab Sunan an-Nasa’i jilid 1 halaman 87, Kitab Musnad Imam Ahmad
bin Hanbal jilid 5 halaman 398 hadis ke-18269, Kitab as-Sunan al-Kubra
karya al-Baihaqi jilid 1 halaman 395 dalam bab al-Iltiwa’ fi Hayya ‘ala
as-Shalah dan Kitab ad-Dala’il an-Nubuwah karya al-Baihaqi jilid 1
halaman 183).
2-
Dari Ibnu Shahab, beliau berkata: “Aku mendapat kabar dari Mahmud bin
Rabi’, ia berkata: Dia adalah orang yang Rasul telah meludah pada
wajahnya, saat itu ia adalah kanak-kanak di daerah mereka. Berkata
Urwah, dari al-Masur dan selainnya –masing-masing saling mempercayai
temannya-: Ketika Nabi melaksanakan wudhu, seakan mereka hendak saling
bunuh-membunuh untuk mendapatkan air wudhu beliau” (Lihat: Kitab Shahih
al-Bukhari jilid 1 halaman 55 dalam kitab wudhu bab Isti’malu Fadhli
Wudhu’in Nas, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 6 halaman 594
hadis ke-23109 dan Kitab Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 246).
Ibnu
Hajar dalam mensyarahi hadis tersebut menyatakan: “Apa yang dilakukan
Nabi terhadap Mahmud, kalau tidak karena tujuan bersendau gurau, atau
untuk memberi berkah kepadanya. Hal itu sebagaimana yang pernah beliau
lakukan kepada anak-anak para Sahabat lainnya” (Lihat: Kitab Fathul Bari
jilid 1 halaman 157 dalam bab Mata Yashihhu Sima’ as-Shoghir).
Sebagaimana
banyak dari para perawi dan penghapal hadis yang meriwayatkan kisah
kedatangan Urwah bin Mas’ud as-Tsaqofi kepada kaum Quraisy pra
perjanjian damai (Suluh) di Hudaibiyah. Kala itu ia heran melihat
prilaku sahabat terhadap Nabi, ia mengatakan –menjelaskan apa yang
dilihatnya-; “Tiada beliau melakukan wudhu kecuali mereka (sahabat)
bersegera (untuk mengambil berkah). Tiada beliau meludah kecuali
merekapun bersegera (untuk mengambil berkah). Tiada salembar rambutpun
yang rontok kecuali mereka memungutnya”. Dalam riwayat lain disebutkan;
“Demi Allah, sewaktu Rasul mengeluarkan dahak dan dahak itu mengenai
telapak tangan seseorang maka orang tadi akan mengusapkannya secara rata
ke seluruh bagian muka dan kulitnya. Jika beliau memerintahkan sesuatu
niscaya mereka bersegera (untuk melaksanakannya). Jika beliau mengambil
air wudhu maka mereka bersegera seakan-akan hendak saling membunuh
memperebutkan (bekas air) wudhu beliau”. (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari
jilid 1 halaman 66 dalam kitab al-Wudhu’ dan jilid 3 halaman 180 dalam
kitab al-Washoya, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 5 halaman 423
dalam hadis panjang nomer-18431, Kitab as-Sunan al-Kubra karya
al-Baihaqi jilid 9 halaman 219 bab al-Muhadanah ‘ala an-Nadhar
Lilmuslimin, Kitab Sirah Ibnu Hisyam jilid 3 halaman 328, Kitab
al-Maghozi karya al-Waqidi jilid 2 halaman 598 dan Kitab Tarikh
al-Khamis jilid 2 halaman 19).
3-
Dari Sa’ad, beliau berkata; Aku mendengar dari beberapa sahabat Rasul
seperti Abu Usaid, Abu Humaid dan Abu Sahal ibn Sa’ad, mereka
mengatakan: “Suatu saat, Rasulullah mendatangi sumur ‘Badho’ah’ kemudian
beliau mengambil wudhu melalui ember lantas (sisanya) dikembalikan ke
dalam sumur. Kemudian beliau mencuci mukanya kembali, dan meludah ke
dalamnya (ember) dan meminum airnya (sumur). Dan jika terdapat orang
sakit di zaman beliau maka beliau bersabda: “Mandikan dia dengan air
sumur Bidho’ah”, maka ketika dimandikan, seakan simpul tali itu telah
lepas (sembuh)” (Lihat: Kitab at-Thobaqoot al-Kubra jilid 1/2 halaman
184 dan Kitab Sirah Ibnu Dahlan jilid 2 halaman 225).
4-
Dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, beliau berkata: “Ketika aku sakit
yang tak kunjung sembuh, Rasulullah menjengukku. Lantas Rasulullah
mengambil air wudhu, kemudian beliau siramkan sisa air wudhu beliau,
kemudian sembuhlah penyakitku” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1
halaman 60 / jilid 7 halaman 150 / jilid 8 halaman 185 dan jilid 9
halaman 123).
5-
Dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, beliau berkata: “Sewaktu Nabi
berwudhu pada sebuah baskom, lantas (sisa air tadi) aku tuang ke dalam
sumur milik kami” (Lihat: Kitab Kanzul Ummal jilid 12 halaman 422 hadis
ke-35472).
6-
Dari Abi Musa, beliau berkata: “Rasul mengambil air pada sebuah tempat.
Lantas beliau membasuh kedua tangan dan wajahnya. Kemudian kembali
memuntahkan air itu ke dalamnya. Lantas beliau bersabda: Minumlah kalian
berdua dari (air) itu. Dan sisakanlah untuk muka dan leher kalian
berdua” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 halaman 55 kitab
al-Wudhu bab Isti’mal Fadhli Wudhuin Naas).
Ibnu
Hajar berkata: “Tujuan dari semua itu –memuntahkan kembali air- adalah
untuk memberikan berkah kepadanya (air)” (Lihat: Kitab Fathul Bari jilid
1 halaman 55 kitab Wudhu bab Isti’mal Fadhli Wudhuin Nas, dan atau
jilid 8 halaman 37 bab Ghozwah at-Tha’if).
7-
Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Aku telah meminum (air) sementara aku
dalam keadaan puasa. Bersabda (Rasul): Kenapa kamu melakukan hal itu?
Ia berkata: Demi untuk mendapat sisa minummu, karena aku tidak akan
pernah menyia-nyiakannya sedikitpun. Aku tidak mampu untuk
menyia-menyiakannya. Ketika aku mampu melakukannya maka aku akan
meminumnya” (Lihat: Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 7 halaman
575 hadis ke-26838 dan Kitab at-Thabaqot al-Kubra jilid 8 halaman 109).
Semua
riwayat di atas tadi membuktikan bahwa dalam sejarah telah terbukti
bahwa para sahabat mulia Rasul telah melakukan tabarruk pada masa
kehidupan beliau. Sebenarnya masih banyak riwayat-riwayat lain lagi yang
bisa kita sebutkan di sini. Namun untuk mempersingkat, maka kami hanya
menyebutkan riwayat-riwayat tadi saja, sebagai argumen pertama, Tabarruk
para sahabat mulia Rasul pada masa kehidupan Nabi. Kami tidak tahu,
apakah sampai sini kaum Salafy masih tetap memaksakan diri untuk
mengatakan bahwa bertabarruk dari pribadi mulia dan pemilik keutamaan
sedang ia masih hidup adalah sesuatu yang masuk kategori Syirik atau
Bid’ah? Mungkinkah para Salaf Saleh (sahabat Rasul) semua tadi adalah
pelaku syirik dan bid’ah? Mungkinkah Rasul membiarkan bahkan meridhoi
para sahabatnya melakukan syirik dan bid’ah?
Pembahasan
kita selanjutnya adalah menyebutkan beberapa riwayat yang membuktikan
bahwa para Salaf Saleh telah bertabarruk terhadap peninggalan Rasul,
pasca wafat beliau.
Jika
rambut Rasul seperti rambut kebanyakan orang lantas kenapa para Salaf
Saleh mengharapkannya, dan bahkan menghendaki rambut itu dikubur
bersamanya sewaktu meninggal dunia? Apakah itu juga tergolong perbuatan
syirik? Benarkah Salaf Saleh melakukan kesyirikan? Ini yang harus
dijawab oleh kaum Wahabi.
Setelah
kita sebutkan beberapa contoh hadis-hadis yang berkaitan dengan
tabarruk para sahabat terhadap diri Rasul pada masa hidup beliau, kini
kita akan memasuki sesi kedua yang membahas tentang;
II- Tabarruk para Sahabat (Salaf Saleh) terhadap peninggalan Rasulullah SAW, pasca wafat beliau.
Imam
al-Bukhari dalam kitab shahih beliau menuliskan satu bab khusus tentang
“Tentang baju besi (untuk perang .red), tongkat, pedang, gelas dan
cincin Nabi, serta apapun yang dilakukan para khalifah pasca (wafat)
beliau dari barang-barang tersebut yang belum disebutkan; dari rambut,
sandal dan nampan yang diambil berkahnya oleh para sahabat dan
selainnya, pasca wafat beliau” (bab; Maa dzakara min Dir’un Nabi wa
‘Ashohu wa Saifihi wa Qodhihi wa Khotamihi wa Maa Ista’mala al-Khulafa’
Ba’dahu min Dzalika Mimma Lam Yudzkar Qisamatuhu, wa min Sya’rihi, wa
Na’lihi wa Aaniyatihi mimma tabarraka Ashabuhu wa Ghairuhum ba’da
Wafatihi). Hanya Imam Bukhari yang menyebutkan bab tersebut dalam kitab
Shahih beliau, yang tidak dilakukan dalam kitab enam (Kutub as-Sittah)
yang menjadi kitab standart Ahlusunah wal Jama’ah yang ada. (Lihat:
Kitab Shohih al-Bukhari jilid 4 halaman 46 di bab yang sama)
Adapun
mengenai hadis-hadis yang membuktikan bahwa para Sahabat yang
-tergolong Salaf Saleh- telah melakukan tabarruk terhadap barang-barang
peningalan Rasul pasca wafat beliau, seperti:
A- Tabarruk para Sahabat dari rambut Nabi:
1-
Dari Abdullah bin Muhib, beliau berkata: “Istriku menyuruhku untuk
pergi ke Ummu Salamah dengan membawa gelas berisikan air –dengan
pegangan tangan Israil seukuran tiga jari- dan terdapat di dalamnya
sepotong rambut Nabi. Jika terdapat seseorang yang terkena mata
(penyakit ‘ain .red) ataupun sesuatu (yang lain) maka akan dikirim
kepadanya alat pemacar (pewarna rambut .red). Kemudian kulihat dengan
berjinjit, ternyata di situ kudapati terdapat rambut merah” (Lihat:
Kitab Shohih al-Bukhari jilid 7 halaman 207).
2-
Sewaktu Muawiyah akan mati, ia mewasiatkan agar dikuburkan dengan baju,
sarung dan selendang juga sebagian rambut Nabi. (Lihat: Kitab
al-Ishobah jilid 3 halaman 400, Kitab Tarikh Damsyiq jilid 59 halaman
229 dan Kitab as-Sirah al-halabiyah jilid 3 halaman 109)
3-
Sewaktu Umar bin Abdul Aziz hendak meningal dunia, ia membawa rambut
dan kuku Nabi seraya berkata: “Jika aku mati maka letakkan rambut dan
kuku ini pada kafanku” (Lihat: Kitab at-Thobaqoot jilid 5 halaman 406
tentang (tarjamah) Umar bin Abdul Aziz).
4-
Baluran mayat (Hanuth) jenazah Anas bin Malik terdapat sejumput misik
dan selembar rambut Rasulullah. (Lihat: Kitab at-Thobaqoot jilid 7
halaman 25 tentang (tarjamah) Anas bin Malik)
5-
Salah seorang putera Fadhl bin ar-Rabi’ telah memberikan tiga lembar
rambut kepada Abu Abdillah (yaitu; Ahmad bin Hanbal) sewaktu beliau di
penjara. Lantas beliau berkata: “Ini adalah bagian rambut Nabi”. Lantas
Abu Abdillah mewasiatkan agar sewaktu beliau meninggal hendaknya
masing-masing rambut tadi diletakkan pada kedua belah matanya, sedang
satu sisanya diletakkan pada lidahnya. (Lihat: Kitab Shifat as-Shofwah
jilid 2 halaman 357).
6-
Dari Ibnu Syirin, beliau berkata: Aku berkata kepada Ubaidah: “Kami
memiliki rambut Nabi. Kami mendapatkannya dari Anas ataupun dari
keluarga Anas”. Lantas ia bekata: “Jika aku memiliki selembar rambut
saja maka akan lebih kusukai daripada dunia beserta isinya” (Lihat:
Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 halaman 51 kitab al-Wudhu, bab al-Maa’
al-Ladzi Yughsal Sya’rul Insan).
7-
Al-Waqidi menjelaskan bahwa Ummul Mukminin Aisyah telah ditanya:
“Darimana engkau mendapatkan rambut itu?”. Ia berkata: “Sesungguhnya
sewaktu Rasul mencukur kepala beliau di haji maka orang-orang memisahkan
rambutnya. Lantas kami mendapatkannya sebagaimana orang-orang pun
mendapatkannya” (Lihat: Kitab al-Maghozi jilid 3 halaman 1109).
Jika
rambut Rasul seperti rambut kebanyakan orang lantas kenapa para Salaf
Saleh mengharapkannya, dan bahkan menghendaki rambut itu dikubur
bersamanya sewaktu meninggal dunia? Apakah itu juga tergolong perbuatan
syirik? Benarkah Salaf Saleh melakukan kesyirikan? Ini yang harus
dijawab oleh kaum Wahabi.
B- Tabarruk para Sahabat dari gelas Nabi:
1-
Dari Sahal bin Sa’ad pada sebuah hadis, beliau berkata: “Suatu hari aku
mendapati Rasul duduk-duduk dengan para sahabat beliau di Saqifah Bani
Saidah, lantas beliau bersabda: “Berilah kami minum, wahai Sahal!”.
Kemudian aku keluarkan gelas ini dan kuberi minum mereka dengannya”.
(Lantas perawi berkata) Kemudian Sahal mengeluarkan gelas tersebut dan
memberi kami minum dengan menggunakan gelas tersebut. Dia berkata:
“Kemudian Umar bin Abdul Aziz memintanya, dan iapun lantas memberikannya
kepadanya”. (Lihat: Kitab Shohih al-Bikhari jilid 6 halaman 352 dalam
kitab al-Asyrabah, Kitab Shohih al-Muslim jilid 6 halaman 103 dalam bab
Ibahat an-Nabidz lam Yasytari wa lam Yashir Muskiran).
2-
Dari Anas: “Sesungguhnya gelas Nabi telah pecah. Kemudian pecahan tadi
diikat dengan rantai perak. Berkata ‘Ashim: Aku melihat gelas itu dan
minum menggunakan gelas tersebut” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 4
halaman 47 dalam bab Bad’ul Khalq).
3-
Abu Burdah berkata: “Abdullah bin Salam berkata kepadaku: Engkau akan
kuberi minum dengan menggunakan gelas yang pernah dipakai Nabi” (Lihat:
Kitab Shohih al-Bukhari jilid 6 halaman 352 dalam kitab al-Asyribah).
4-
Dari Shofiyah binti Buhrah, beliau berkata: “Pamanku Faras telah
meminta kepada Nabi sebuah piring yang pernah dilihatnya dipakai makan
oleh Nabi. Lantas beliau memberikannya kepadanya”.
Dia berkata: Dahulu, Umar jika datang kepada kami, ia akan mengatakan: “Keluarkan buatku piring Rasulullah. Lantas kukeluarkan piring tersebut, kemudian ia memenuhinya dengan air Zamzam, dan meminum sebagian darinya, lantas selebihnya, ia percikkan ke wajahnya” (Lihat: Kitab al-Ishobah jilid 3 halaman 202 dalam huruf Fa’ pada bagian pertama berkaitan dengan (tarjamah) Ibnu Faras nomer ke-6971, Kitab Usud al-Ghabah jilid 4 halaman 352 pada huruf Fa’, Faras ‘Amm (paman) Shofiyah nomer ke-4202, dan Kitab Kanzul Ummal jilid 14 halaman 264).
Dia berkata: Dahulu, Umar jika datang kepada kami, ia akan mengatakan: “Keluarkan buatku piring Rasulullah. Lantas kukeluarkan piring tersebut, kemudian ia memenuhinya dengan air Zamzam, dan meminum sebagian darinya, lantas selebihnya, ia percikkan ke wajahnya” (Lihat: Kitab al-Ishobah jilid 3 halaman 202 dalam huruf Fa’ pada bagian pertama berkaitan dengan (tarjamah) Ibnu Faras nomer ke-6971, Kitab Usud al-Ghabah jilid 4 halaman 352 pada huruf Fa’, Faras ‘Amm (paman) Shofiyah nomer ke-4202, dan Kitab Kanzul Ummal jilid 14 halaman 264).
Apa
beda antara gelas biasa yang tidak pernah dipakai oleh Rasul dengan
gelas bekas bibir Rasul sehingga menyebabkan para sahabat mulia yang
tergolong Salaf Saleh merebutkannya? Apakah perbatan ini tidak tergolong
melebih-lebihkan Rasul yang menyebabkan orang terjerumus ke dalam
kesyirikan? Apakah kaum Wahaby berani menyatakan bahwa perbuatan tercela
(versi Wahabi) itu juga diajarkan oleh para sahabat yang tergolong
Salaf Saleh? Mereka harus konsisten dengan ajaran Wahabismenya dengan
menyatakan bahwa perbatan itu adalah syirik, yang meniscayakan bahwa
para sahabat telah mengajarkan kesyirikan kepada kita.
C- Tabarruk para Sahabat dari tempat tangan dan bibir Nabi:
1-
Dalam sebuah kisah yang berkaitan dengan kedatangan Nabi ke rumah Abu
Ayyub al-Anshari sewaktu beliau baru berhijrah ke Madinah, Abu Ayyub
berkata kepada Beliau: “Kami menyiapkan untuk beliau makan malam dan
lantas mengirim (hidangan) baginya. Sehingga jika beliau mengembalikan
sisa-sisa (makanan)nya maka aku dan Ummu Ayyub akan mengusap-usap bekas
tangan beliau dan memakannya, untuk mengharap berkah. Hingga akhirnya
suatu malam, kami mengirim buat beliau makanan yang terdapat bawang
merah dan bawang putih di dalamnya. Lantas Rasul menolaknya, sehingga
kami tidak mendapati bekas tangan beliau. Akhirnya kudatangi beliau
dengan perasaan takut. Lantas kutanyakan: Wahai Rasulullah, demi ayahku,
engkau dan ibuku, engkau telah menolak hidanganmu sehingga kami tidak
mendapati bekas tanganmu? Lantas beliau menjawab: Aku mendapatkan bau
pohon ini (bawang). Dikarenakan aku adalah lelaki yang selalu bermunajat
(maka menjauhinya). Adapun kalian, makanlah darinya…”. (Lihat: Kitab
al-Bidayah wa an-Niayah jilid 3 halaman 201, Kitab Sirah Ibnu Hisyam
jilid 2 halaman 144 dan Kitab ad-Dala’il karya al-Baihaqi jilid 2
halaman 510)
2-
Dari Anas: “Sewaktu Rasul memasuki rumah Ummu Sulaim, beliau mendapati
di rumah tersebut terdapat Qirbah (tempat air dari kulit) yang
tergantung dan di dalamnya terdapat air. Kemudian beliau mengambilnya
dan meminum langsung dari bibir (Qirbah), dengan posisi berdiri. Lantas
Ummu Sulaim mengambilnya dan memotong bibir Qirbah tadi yang kemudian
disimpannya” (Lihat: Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 7 halaman
520 hadis ke-26574 dan atau Kitab at-Thobaqaat jilid 8 halaman 213)
3-
Dari Ummu ‘Amir –nama aslinya Fakihah atau Asma’- binti Yazid bin
as-Sakan, beliau berkata: “Aku melihat Rasulullah melaksanakan shalat
maghrib di masjid kami. Lantas aku pergi ke rumahku dan membawakan
daging dan roti. Lantas kukatakan: Makanlah!? Lantas beliau bersabda
kepada para sahabatnya: Silahkan makan!? Akhirnya beliau bersama para
sahabat beliau yang datang makan bersama…lantas kukatakan: ????” (Lihat:
Kitab al-Ishobah jilid 4 halaman 471 pada huruf ‘Ain di bagian pertama,
berkaitan dengan (tarjamah) Ummu ‘Amir pada nomer 1374 dan atau Kitab
at-Thobaqaat jilid 8 halaman 234).
4-
Dari Abdurrahman bin Abi Umrah yang diriwayatkan dari neneknya, Ummu
Kultsum. Beliau berkata: “Sewaktu Rasul memasuki rumahku, beliau
mendapati Qirbah tergantung yang berisi air. Lantas beliau meminum
darinya. Kemudian kupotong bibir Qirbah dan lantas kuangkat, mengharap
berkah dari bekas bibir Rasulullah” (Lihat: Kitab Sunan Ibnu Majah jilid
2 halaman 1132 dan atau Kitab Usud al-Ghabah jilid 5 halaman 539 dalam
huruf Kaf mengenai (tarjamah) Kultsum pada nomer 7243).
Pertanyaan
yang sama juga bisa dilontarkan dan harus dijawab oleh kaum Wahaby,
bahwa apakah perbuatan semacam itu (tabarruk dari peninggalan Rasul)
tergolong Syirik? Apakah hal itu meniscayakan bahwa para Sahabat yang
tergolong Salaf Saleh telah mengajarkan kepada kita kesyirikan?
Beranikah kaum Wahabi menvonis para sahabat di atas tadi telah melakukan
kesyirikan? Mana bukti bahwa ajaran Salafy (yang pada hakekatnya Wahaby
itu) hendak menumbuhkan dan menyebarkan ajaran Salaf Saleh? Salaf Saleh
yang mana yang hendak mereka hidupkan ajarannya, padahal segenap Salaf
Saleh membolehkan tabarruk –yang dinyatakan syirik oleh kaum Wahaby-
itu?
Jika
apa yang dimiliki Rasul sama dengan milik kebanyakan orang, lantas
kenapa dia meminta kain Rasul untuk mendapat ketentraman (isti’nas)? Dan
buat apa air bekas siraman kepala Rasul itu disimpan dan bahkan
dijadikan sarana permohonan kesembuhan? Jika itu semua masuk ketegori
syirik, maka dari sekarang, selayaknya kaum Salafy tidak lagi mengaku
sebagai penghidup ajaran dan manhaj Salaf Saleh, tetapi penghidup ajaran
Khalaf Thaleh (lawan Salaf Saleh).
Untuk
lebih menguatkan akan argumentasi diperbolehkannya tabarruk dalam
syariat Nabi Muhammad saw, maka di sini akan kita lanjutkan kajian kita
pada telaah hadis-hadis yang menyebutkan bahwa para Salaf Saleh telah
bertabarruk kepada peninggalan Rasul, pasca wafat beliau. Dimana semua
itu selama ini dianggap sebagai bentuk kesyirikan oleh kaum yang
mengaku-ngaku sebagai penghidup ajaran dan manhaj Salaf Saleh. Mari kita
sama-sama perhatikan secara teliti uraian hadis-hadis di bawah ini:
D- Tabarruk para Sahabat dari tongkat, baju, sandal, cincin dan mimbar Nabi:
1-
Diriwayatkan dari Muhammad bin Jabir, berkata: Aku mendengar ayahku
berkisah tentang kakekku, bahwa beliau adalah delegasi pertama Nabi dari
Bani hanafiyah. Suatu saat kudapati dia menyiram kepalanya dan berkata:
“Duduklah wahai saudara penghuni Yamamah, siramlah kepalamu!”. Lantas
kusiram kepalaku dengan air bekas siraman Rasulullah…maka aku berkata:
“Wahai Rasulullah, berilah aku potongan dari pakaianmu agar aku dapat
merasakan ketentraman. Lantas beliau memberikannya kepadaku. Lantas
berkata Muhammad bin Jabir: Ayahku berkata bahwa kami biasa
menyiramkannya buat orang sakit untuk memohon kesembuhan”. (Lihat:
Al-Ishabah 2/102 huruf Sin bagian pertama, tarjamah Sayawis Thalq
al-Yamani nomer 3626)
Jika apa yang dimiliki Rasul sama dengan milik kebanyakan orang, lantas kenapa dia meminta kain Rasul untuk mendapat ketentraman (isti’nas)? Dan buat apa air bekas siraman kepala Rasul itu disimpan dan bahkan dijadikan sarana permohonan kesembuhan? Jika itu semua masuk ketegori syirik, maka dari sekarang, selayaknya kaum Salafy tidak lagi mengaku sebagai penghidup ajaran dan manhaj Salaf Saleh, tetapi penghidup ajaran Khalaf Thaleh (lawan Salaf Saleh).
Jika apa yang dimiliki Rasul sama dengan milik kebanyakan orang, lantas kenapa dia meminta kain Rasul untuk mendapat ketentraman (isti’nas)? Dan buat apa air bekas siraman kepala Rasul itu disimpan dan bahkan dijadikan sarana permohonan kesembuhan? Jika itu semua masuk ketegori syirik, maka dari sekarang, selayaknya kaum Salafy tidak lagi mengaku sebagai penghidup ajaran dan manhaj Salaf Saleh, tetapi penghidup ajaran Khalaf Thaleh (lawan Salaf Saleh).
2-
Diriwayatkan dari Isa bin Thahman, berkata: Anas menyuruh untuk
mengeluarkan sepasang sandal yang memiliki dua tali, sedang kala itu aku
berada di samping Anas. Lantas kudengar Tsabit al-Banani berkata: “Itu
adalah sandal Rasul”. (Lihat: Shohih Bukhari 7/199, 4/101, al-Bidayah wa
an-Nihayah 6/6 dan Thabaqoot karya Ibnu Sa’ad 1/478)
Jika sandal Rasul sama dengan sandal-sandal manusia lain yang tidak layak disimpan dan ditabarruki, lantas buat apa sahabat menyimpannya? Apakah sahabat kurang pekerjaan sehingga menyimpan sandal yang sudah tidak dipakai, atau bahkan sudah rusak? Tentu ada hikmah dibalik penyimpanan tersebut, salah satunya adalah untuk mengambil berkah dari Rasul, melalui sandal beliau.
Jika sandal Rasul sama dengan sandal-sandal manusia lain yang tidak layak disimpan dan ditabarruki, lantas buat apa sahabat menyimpannya? Apakah sahabat kurang pekerjaan sehingga menyimpan sandal yang sudah tidak dipakai, atau bahkan sudah rusak? Tentu ada hikmah dibalik penyimpanan tersebut, salah satunya adalah untuk mengambil berkah dari Rasul, melalui sandal beliau.
3-
Dalam sebuah riwayat, Rasul bersabda: “Barangsiapa yang bersumpah di
atas mimbarku dan dia berbohong walaupun terhadap selainnya maka
selayaknya ia bersiap-siap mendapat tempat di neraka” (Lihat: Musnad
Ahmad bin Hambal 4/357 hadis ke-14606 dan Fathul Bari 5/210).
Ini semua membuktikan bahwa betapa sakralnya mimbar Rasul, menurut lisan Rasul sendiri, dan para sahabatpun meyakini hal itu. Terbukti bahwa Zaid bin Tsabit takut untuk bersumpah di mimbar Rasul ketika menghukumi Marwan. (Lihat: Kanzul Ummal karya al-Muttaqi al-Hindi al-Hanafi 16/697 hadis ke-46389). Bukan hanya itu, dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Yazid bin Abdullah bin Qoshith menjelaskan bahwa; “Aku melihat para sahabat Nabi sewaktu hendak meninggalkan masjid lantas mereka menyentuh pucuk mimbar yang menonjol yang (lantas dikemudian hari terletak) di sisi kanan kubur kemudian mereka menghadap kiblat dan berdoa” (Lihat: at-Thabaqot al-Kubra 1/254 tentang mimbar Rasul). Bahkan dalam riwayat Ibrahim bin Abdurrahman bin Abdul Qori menyebutkan bahwa; beliau melihat Umar meletakkan tangannya ke tempat duduk Nabi di atas mimbar, lantas mengusapkannya ke mukanya. (Lihat: at-Thabaqot al-Kubra 1/254 tentang mimbar Rasul dan ats-Tsuqoot karya Ibnu Habban halaman 9). Jika kaum Wahaby (Salafy gadungan) selalu menyatakan syirik buat pengambil berkah –dari para penziarah yang datang ke Masjid Nabawi di kota Madinah- dari mimbar Rasul, maka apakah layak kelompok yang berpegangan teguh kepada ‘ajaran aneh sang pengkhianat’, Muhammad bin Abdul Wahhab, untuk mengaku sebagai “penghidup Sunah menurut ajaran Salaf Saleh”? Ataukah mereka lebih layak disebut sebagai “penghidup bid’ah menurut ajaran Khalaf Thaleh (seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Albani, Bin Baz, Utsaimin, Aali Syeikh dsb)”?
Ini semua membuktikan bahwa betapa sakralnya mimbar Rasul, menurut lisan Rasul sendiri, dan para sahabatpun meyakini hal itu. Terbukti bahwa Zaid bin Tsabit takut untuk bersumpah di mimbar Rasul ketika menghukumi Marwan. (Lihat: Kanzul Ummal karya al-Muttaqi al-Hindi al-Hanafi 16/697 hadis ke-46389). Bukan hanya itu, dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Yazid bin Abdullah bin Qoshith menjelaskan bahwa; “Aku melihat para sahabat Nabi sewaktu hendak meninggalkan masjid lantas mereka menyentuh pucuk mimbar yang menonjol yang (lantas dikemudian hari terletak) di sisi kanan kubur kemudian mereka menghadap kiblat dan berdoa” (Lihat: at-Thabaqot al-Kubra 1/254 tentang mimbar Rasul). Bahkan dalam riwayat Ibrahim bin Abdurrahman bin Abdul Qori menyebutkan bahwa; beliau melihat Umar meletakkan tangannya ke tempat duduk Nabi di atas mimbar, lantas mengusapkannya ke mukanya. (Lihat: at-Thabaqot al-Kubra 1/254 tentang mimbar Rasul dan ats-Tsuqoot karya Ibnu Habban halaman 9). Jika kaum Wahaby (Salafy gadungan) selalu menyatakan syirik buat pengambil berkah –dari para penziarah yang datang ke Masjid Nabawi di kota Madinah- dari mimbar Rasul, maka apakah layak kelompok yang berpegangan teguh kepada ‘ajaran aneh sang pengkhianat’, Muhammad bin Abdul Wahhab, untuk mengaku sebagai “penghidup Sunah menurut ajaran Salaf Saleh”? Ataukah mereka lebih layak disebut sebagai “penghidup bid’ah menurut ajaran Khalaf Thaleh (seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Albani, Bin Baz, Utsaimin, Aali Syeikh dsb)”?
Guna
mempersingkat tulisan maka kami hanya menyebutkan beberapa hadis saja.
Namun, di sini akan kita singgung beberapa riwayat beserta rujukannya
dengan harapan para pembaca yang budiman dapat merujuk kembali ke teks
aslinya.
Dalam
beberapa riwayat dan hadis lain disebutkan bahwa, ada beberapa hadis
seperti yang membahasa tentang Anas bin Malik yang dikubur dengan
tongkat Rasul (Lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah 6/6), para sahabat
mengambil berkah dari cincin Rasul dengan meniru bentuknya (Lihat:
Shahih Bukhari 7/55, Shohih Muslim 3/1656, an-Nasa’i 8/196, Musnad Ahmad
bin Hanbal 2/96 hadis ke-472), para sahabat yang mengambil berkah dari
sarung Rasul dengan memakainya secara bergilir dan dijadikannya kafan
(Lihat: Shahih Bukhari 7/189, 2/98, 3/80, 8/16, Sunan Ibnu Majah 2/1177
dan Musnad Ahmad bin Hambal 6/456 hadis ke-22318, Fathul Bari 3/144
tentang hadis 1277), Muawiyah bin Abi Sufyan yang bersikeras membeli
selendang Rasul untuk dibawa mati dan menjadi kafannya (Lihat: Tarikh
Islam karya adz-Dzahabi 2/412, as-Sirah al-Halabiyah 3/242 dan Tarikh
Khulafa’ karya as-Suyuthi hal:19), hadis Ummu Athiyah tentang kehadiran
Rasul ketika anak putrinya meninggal dan mengambil berkah dari sarungnya
(Lihat: Shohih Bukhari 2/74 kitab Jana’iz bab pemberian Kafur, Shohih
Muslim 2/647, Musnad Ahmad 7/556 hadis ke-26752, Sunan an-Nasa’i 4/31
dan as-Sunan al-Kubra 3/547 bab 34 hadis ke-6634 dan atau 4/6 bab 72
halaman 6764), dan masih banyak lagi yang akan bisa kita dapati pada
edisi lengkap tulisan ini. Nantikan.
E- Tabarruk para Sahabat dari Tempat Shalat Nabi:
1-
Dari Musa bin Uqbah, beliau berkata: “Aku melihat Salim bin Abdullah
bingung memilih tempat di jalanan untuk melaksanakan shalat. Dikatakan
bahwa dahulu ayahnya pernah melaksanakan shalat di tempat itu. Dan ia
pernah melihat bahwa Rasul juga pernah melaksanakan shalat di tempat
itu”. Nafi’ berkata bahwa Ibnu Umar menjelaskan bahwa Rasulullah pernah
melaksanakan shalat di tempat-tempat itu. Lantas kutanya kepada Salim
karena aku tak pernah melihat Salim kecuali dia mengikuti Nafi’ dalam
(memanfaatkan) semua tempat-tempat yang ada, kecuali mereka berdua
berbeda dalam pada tempat sujud (masjid) sebagaimana kemuliaan alat
putar penggiling (riha’). (Lihat: Shohih Bukhari 1/130, Al-ishobah 2/349
pada huruf ‘Ain’ pada bagian pertama, tarjamah Abdullah bin Umar, nomer
4834, Al-Bidayah wa an-Nihayah 5/149 dan Kanzul Ummal karya Muttaqi
al-Hindi al-Hanafi 6/247)
Dari
hadis di atas itulah akhirnya Ibnu Hajar dalam mensyarahinya
mengatakan; “Dari Shoni’ bin Umar dapat diambil pelajaran tentang
disunahkannya mengikuti peninggalan dan kesan Nabi untuk bertabarruk
padanya”. (Lihat: Fathul Bari 1/469, dan menurut As-Shorim: 108 dinyatakan bahwa Imam Malik menfatwakan; “Sunnah melakukan shalat di tempat-tempat yang pernah dibuat shalat oleh Nabi.” Pernyataan yang sama juga dapat di kitab al-Isti’ab yang sebagai catatan kaki dari Al-Ishabah tentang Abullah bin Umar).
Tetapi
pada kenyataannya, kenapa para muthawwi’ (rohaniawan Wahaby) berusaha
menghalang-halangi para jamaah haji yang ingin bertabarruk dan melakukan
shalat di Gua Hira’ tempat menyendiri Rasul yang beliau pakai untuk
beribadah, termasuk shalat di sana, dengan alasan Rasul dan Salaf Saleh
tidak pernah memberi contoh hal tersebut?
2-
Ibnu Atsir berkata bahwa, Ibnu Umar adalah pribadi yang seringnya
selalu mengikuti kesan dan peninggalan Rasulullah saw. Sehingga nampak
beliau berdiam di tempat (Rasul pernah berdiam di situ), dan melakukan
shalat di tempat yang Rasul pernah melakukan shalat di situ, dan sampai
pohon yang pernah disinggahi oleh Nabi (untuk berteduh) pun
disinggahinya, bahkan beliau (Ibnu Umar) selalu menyiraminya agar tidak
mati kekeringan. (Lihat: Usud al-Ghabah 3/340, tarjamah Abdullah bin
Umar, nomer 3080. Dan hal serupa –dengan sedikit perbedaan redaksi- juga
dapat dilihat dalam kitab Musnad Imam Ahmad bin Hambal 2/269 hadis
ke-5968, Shohih Bukhari 3/140, Shohih Muslim 2/1981)
Apakah tabarruk Ibnu Umar tersebut tergolong syirik dan berlebih-lebihan (kultus) terhadap Rasul? Apakah mungkin pribadi mulia nan agung seperti Ibnu Umar melakukan perbuatan syirik yang dicela oleh Rasul? Jika ya, lantas kenapa para Salaf Saleh tidak pernah menegurnya, bukankah diamnya mereka berarti meridhoi hal yang sesat? Beranikah kaum Wahaby menyatakan bahwa itu adalah Syirik? Ataukah mereka terpaksa melegalkan perbuatan yang mereka anggap syirik itu?
Apakah tabarruk Ibnu Umar tersebut tergolong syirik dan berlebih-lebihan (kultus) terhadap Rasul? Apakah mungkin pribadi mulia nan agung seperti Ibnu Umar melakukan perbuatan syirik yang dicela oleh Rasul? Jika ya, lantas kenapa para Salaf Saleh tidak pernah menegurnya, bukankah diamnya mereka berarti meridhoi hal yang sesat? Beranikah kaum Wahaby menyatakan bahwa itu adalah Syirik? Ataukah mereka terpaksa melegalkan perbuatan yang mereka anggap syirik itu?
3-
Suatu saat, datang Atban bin Malik -salah seorang sahabat Rasul dari
Anshar yang mengikuti perang Badr bersama Rasul- kepada Rasul seraya
berkata: “Wahai Rasulullah, telah lemah penglihatanku maka aku melakukan
shalat bersama kaumku. Jika hujan turun dan menggenangi lembah yang
membentang antara tempatku denga tempat mereka sehingga aku tak dapat
melakukan shalat bersama mereka di masjid mereka. Wahai Rasul, aku
mengharap engkau datang mengunjungiku dan melaksanakan shalat di
rumahku.” Lantas Rasululah saw bersabda kepadanya: “Aku akan
melaksanakannya, insya-Allah.” Atban berkata: “Keesokan harinya, di
waktu siang, datanglah Rasul besama Abu Bakar. Kemudian Rasul meminta
izin kepadaku dan akupun memberikannya izin. Beliau tidak duduk ketika
memasuki rumah dan langsung bersabda; “Di bagian manakah engkau ingin
aku mengerjakan shalat di rumahmu?”. Lantas aku tunjuk satu sudut yang
berada di rumahku. Lantas Rasulullah berdiri dan bertakbir. Kamipun
turut berdiri dan mengambil saf untuk melakukan shalat dua rakaat dan
membaca salam”. (Lihat: Shohih Bukhari 1/115, 170 dan 175. Shohih Muslim
1/445, 61 dan 62).
Anehnya,
dalam menetapkan pelarangan bertabarruk pada tempat-tempat dan
benda-benda yang dianggap sakral (muqaddas), al-Ulyani dalam kitab
“at-Tabarruk al-Masyru’ hal: 68-69” berargumen dengan hadis Atban bin
Malik yang disinyalir dalam kitab shohih Bukhari dan Shohih Muslim di
atas (hadis ketiga) untuk menetapkan ‘pengharaman tabarruk pada tempat
dan benda’. Dia dalam kitab itu menyatakan: “Hal itu (sebagaimana yang
diceritakan dalam hadis di atas) bukan berarti menunjukkan bahwa Atban
hendak bertabarruk (mencari berkah) dari tempat yang pernah dibuat
shalat oleh Rasul. Akan tetapi ia hanya ingin menetapkan (iqrar) kepada
Rasul untuk shalat berjamaah di rumahnya ketika dia tidak mampu untuk
melakukan shalat jamaah, sewaktu terjadi genangan di lembah itu. Maka di
saat itu ia hendak meresmika masjid di rumahnya dengan mengundang
Rasul. Atas dasar itu akhirnya Bukhari memberikan judul dalam kumpulan
hadis semacam ini dengan sebutan: “Bab Masjid-Masjid di Rumah” (Babul
Masajid fil Bayt). Dan sebagaimana yang dilakukan oleh al-Barra’ bin
‘Azib yang melakukan shalat di masjid yang berada di rumahnya –ini
adalah ajaran fikihnya- dimana yang dimaksudkan adalah, Rasul telah
mensunahkan untuk melakukan shalat berjamaah di rumah ketika sewaktu
terdapat hajat. Sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat lain yang
bernama al-Barra’ bin ‘Azib yang melaksanakan shalat jamaah di rumahnya
sedang (Rasul) tidak menkritisinya. Padahal dia hidup di zaman hidupnya
Rasul (tasyri’). Boleh jadi maksud Atban tadi adalah ingin menetapkan
arah kiblat yang benar, karena Rasul tidak akan menetapkan kesalahan
jika ia melaksanakan shalat menghadap bukan ke arah kiblat”. Ini adalah
kemungkinan interpretasi yang diberikan al-Ulyani dari hadis di atas
tadi. untuk mengkritisinya maka marilah kita perhatikan poin-poin di
bawah ini:
1-
Tidak diragukan lagi bahwa sahabat Atban menginginkan untuk melaksankan
shalat berjamaah di rumahnya. Ini adalah salah satu sebab dari
kemunculan hadis tersebut. Akan tetapi bukan sebab satu-satunya, sebab
keinginannya untuk bertabarruk kepada Rasulpun secara jelas nampak dalam
teks hadis tersebut. Dan Nabi pun memahami apa yang diinginkan oleh
Atban. Oleh karenanya beliau lantas menanyakan kepada Atban tentang
tempat dalam rumahnya yang diinginkannya untuk dilakukan shalat oleh
Rasul. Jika apa yang dinyatakan oleh al-Ulyani benar maka seharusnya
Rasul langsung melakukan shalat di rumahnya, tanpa menanyakan dengan
redaksi dan model pertanyaan semacam itu.
2-
Kalaupun apa yang dinyatakan al-Ulyani benar bahwa tujuan sahabat
‘Atban tadi adalah ingin memastikan kebenaran arah kiblat karena ia
tidak dapat melihat dengan baik, dengan cara mendatangkan Rasul ke
rumahnya, maka hal inipun sulit diterima. Dikarenakan untuk memperoleh
arah kiblat yang benar oleh ‘Atban yang penglihatannya lemah, bisa saja
ia meminta tolong anggota keluarga, sanak-famili ataupun melibatkan
sahabat Rasul lain untuk memberikan arahan yang sesuai arah kiblat yang
benar, bukan dengan memangil Rasul, apalagi lantas dilanjutkan dengan
pelaksanaan dua rakaat shalat oleh Rasul. Dan dikarenakan Rasul hanya
shalat dua rakaat (diwaktu siang sebagaimana teks hadis) maka ini
membuktikan bahwa shalat yang dilakukan Rasul adalah shalat sunah, bukan
shalat wajib. Oleh karenanya, jika Rasul hanya berfungsi sebagai
penunjuk arah kiblat yang benar saja lantas buat apa beliau melakukan
shalat sunah, cukup memberitahu dengan lisan dan tunjuk saja.
3-
Kami tidak yakin intelektual orang seperti al-Ulyani lebih bagus dari
pribadi seperti al-Allamah Ibnu Hajar al-Asqolani, termasuk dalam
memahami hadis di atas tadi. dan kita tahu bahwa Ibnu Hajar menyatakan
dalam syarah Shohih Bukharinya yang berjudul “Fathul Bari” dengan
pernyataannya sebagai berikut:
A-
“Sewaktu Nabi diundang dan diminta untuk melakukan shalat, hal itu
tiada lain adalah agar pemilik rumah dapat mengambil berkah (tabarruk)
dari tempat shalat tadi. Maka dari itu beliau bertanya tentang tempat
yang memang dikhususkan untuk itu…”. (Lihat: Fathul Bari 1/433)
B-
“Dalam hadis ‘Atban yang meminta Nabi melaksanakan shalat di rumahnya
dan Nabipun memenuhi keinginan tersebut adalah bukti pembolehan (hujjah)
akan tabarruk atas kesan dan peninggalan para manusia shaleh”. (Lihat:
Fathul Bari 1/469)
Hadis-hadis
semacam itu (Hadis ‘Atban) banyak akan kita dapati dalam kitab-kitab
terkemuka lain. Untuk mempersingkat, kita akan sebutkan kitab, jilid dan
halaman saja untuk dirujuk oleh para pembaca yang budiman.
Jika
kita memberi sedikit toleransi terhadap pernyataan al-Ulyani berkaitan
dengan hadis ‘Atban, dan memberi secuil kemungkinan kebenaran pada
perkiraannya karena belas kasihan kita, maka bagaimana pendapat
al-Ulyani dengan hadis-hadis lain yang secara jelas menyatakan keinginan
para sahabat untuk bertabarruk kepada Rasul? Sebagai contoh, seperti
hadis Ummu Sulaim dan beberapa sahabat lain yang dapat kita temui hadis
tersebut dalam kitab; Sunan an-Nasa’i 1/268, kitab al-Masajid, bab 43
shalat ‘alal hashir hadis ke-816, atau dalam kitab Sunan Ibnu Majah
1/249 kitab al-Masajid, bab alMasajid fid Daur hadis ke-756, atau kitab
Musnad Imam Ahmad bin Hanbal 3/586 hadis ke 11920 cetakan Muassasah
at-Tarikh al-Arabi dan dalam Musnad Imam Ahmad 3/130 terdapat dua sanad
yang berbeda, atau lihat kitab Musnad Anas bin Malik hadis ke-11920.
dengan jelas hadis Ummu Sulaim tadi menyatakan bahwa ia ingin
bertabarruk dari Rasulullah saw, tidak seperti hadis ‘Atban yang masih
mungkin disalahpahami oleh al-‘Ulyani.
Sebagian
Wahaby berargumen bahwa tidak ada perbedaan antara masjid Nabawi dengan
masjid-masjid yang lain. Ini pernyataan yang cukup aneh yang keluar
dari makhluk yang mengaku sebagai umat Muhammad. Betapa tidak, walaupun
masjid Nabi di kota Madinah telah terjadi perluasan dan perombakan,
namun wilayah bangunan asli masjid Nabawi masih terjaga dan dapat
dikenali oleh banyak orang. Di bilangan bangunan asli itulah, dahulu
Nabi beserta para sahabat mulai beliau melakukan shalat dan ibadah
ritual lainnya. Bagaimana masjid Nabawi dinyatakan sama dengan
masjid-masjid biasa lainnya sedang tempat bekas shalat Nabi yang bukan
masjid saja dicari oleh para sahabat untuk pengambilan berkah dengan
turut melakukan shalat di tempat berkah tersebut? Dan di kitab-kitab
standart Ahlusunah wal jamaah dapat kita jumpai berbagai riwayat yang
menjelaskan tentang keutamaan masjid Nabawi dibanding masjid-masjid
lainnya, selain masjidil Haram tentunya.
0 komentar:
Posting Komentar